Minggu, 20 Juni 2010

Penyesalan Dini

Malam kian menyelimuti bumi. Air sungai dengan tenangnya mengalir seperti irama jiwa seorang penyair. Dedaunan jatuh satu persatu ke bumi, tempat dimana ia berasal. Seperti itulah yang akan dialami setiap insan di bumi manapun. Tetapi, hatinya tak seindah bunga yang mekar. Hatinya semakin gundah gulana. Hari demi hari berlalu dengan sangat cepat bak pesawat yang mengantar ke tujuan yang pasti dan jelas. Tetapi itu tidak berarti bagi dirinya yang sedang dalam terjatuh dalam lembah yang sangat gelap. Gelap tak bercahaya.

Matahari semakin menunjukkan kekuasaannya. Kicauan burung kian menyambut hari yang indah. Orang – orang hilir mudik mencari rezeki agar tetap bertahan hidup di tengah ganasnya zaman. Desa Projo semakin sibuk. Demikian juga dengan Dini, seorang gadis yang sangat manis. Ia tidak seperti gadis – gadis yang lain, ia tidak mau melanjutkan sekolah ke tingkat lebih tinggi. Ia lebih memilih bekerja di sawah milik orangtuanya.

“Nduk, kamu tadi melamun apa toh?” sapa sang bunda yang setia merawatnya. “ Tidak ada, mak. Aku tadi cuma mikir, apa begini nasibku.”jawab Dini sambil ia bersiap – siap mau ke sawah. “ Ya bagaimana lagi toh. Wong ini pilihanmu. Kamu musti jalaninnya.”jawab sang bunda dengan mata berkaca – kaca. Ia sebenarnya ingin anak gadisnya sekolah, seperti anak – anak yang lain. Tetapi, sang anak lebih memilih membantu ibunya dengan alasan mencari uang, dan melanjutkan sekolahnya apabila telah memiliki uang yang cukup.

Hari semakin terang menyinari bumi yang penuh dengan keindahan. Petani – petani semakin bergairah menancapkan cangkul ke sawah demi penghidupan. Dini yang dengan bersemangat mencangkul sawah, tidak memperhatikan bahwa Rina, sahabat yang setia menemani ia di setiap suka dan duka, sedang tesenyum padanya. “ Din, jangan bersemangat sekali. Ntar kamu cepat lelah. Istirahat sebentar. Ada yang ingin aku bicarakan.” sapa Rina dengan ramah. Ia memang sahabat yang baik, meskipun ia orang yang cukup berada. “ Ada apa toh, Rin?” tanya Dini sambil mengusap keringat yang keluar dari setiap pori – pori tubuhnya. “ Gini, aku kan sebentar lagi mau lulus. Aku rencananya mau sekolah di Jakarta. Paman aku yang mengajak aku. Aku ingin ajak kamu. Kamu mau gak?” jelas Rina panjang lebar. “ Gimana toh Rin. Wong kamu tau, aku ini orang tak mampu. Aku saja harus bekerja demi kehidupanku dengan Emak.” jawab Dini dengan hati yang samakin jauh menerawang ke langit biru. “ Ya kamu tenang saja. Semua sudah ku atur kok. Biaya – biaya sekolah kamu akan dibantu pamanku. Jadi, kamu tenang saja.” jelas Rina dengan harapan ia bisa meluluhkan hati Dini, yang sekeras karang di tengah lautan samudra. “ Aku gak mau Rin. Aku kasihan dengan Emak. Ia sendirian di sini. Aku kasihan.” jawab Dini dengan air mata yang jatuh ke bumi. Ia sangat sayang dengan emaknya. Ia tidak mau meninggalkan emaknya. “ Seharusnya yang kasihan tu Emak. Beliau sangat berharap dirimu mau sekolah lagi. Jangan berpikir yang lain. Kasihan emakmu.” tukas Rina dengan tegas. Ia sangat sayang pada sahabatnya itu, karena ia menganggap Dini sebagai kakak kandungnya. Umur mereka memang selisih 1 tahun. Oleh karena itu, Dini lebih dulu tamat dari bangku SMP daripada Rina. “ Tapi Rin, aku gak mau. Aku ingin kerja di sini. Menggarap sawah milik almarhum bapak.”jawab Dini dengan menangis. “ Tapi kamu gak ingat apa pesan bapakmu. Beliau ingin kamu sekolah sampai sukses. Beliau gak ingin anak gadisnya gagal sekolah. Itu amanah Bapakmu. Ingat Din.!” jawab Rina dengan sedikit marah. Dini terdiam. Ia teringat almarhum bapaknya. Beliau titip pesan pada Dini, buah hati penyejuk jiwanya, agar jangan putus sekolah. Ia sangat teingat bagaimana sang Ayah berbicara saat penyakitnya kambuh dengan tiba – tiba. Ia kembali menangis. Hingga suara yang ia keluarkan tidak begitu indah. “ Tapi..itu dulu Rin. Aku ingin juga sekolah lagi. Tapi, aku bepikir, tuk apa aku sekolah.. Wong ntar aku juga kembali ke desa ini dan menggarap sawah juga.. Mending aku gak sekolah sekalian..!”suara Dini menggetar melawan pergolakan jiwa yang ia alami. “ Terserah kamu Din. Aku capek ngomong ma kamu. Hatimu memang susah di luluhkan. Batu karang saja bisa di hancurkan bila ia terus di hantam gelombang. Aku gak tau lagi bagaimana menasehatimu. Aku pusing.” Akhirnya Rina sudah kehabisan akal tuk menyadarkan sahabatnya itu. Ia tak tahu mau bagaimana lagi. Ia pusing.

Burung – burung berterbangan dengan indahnya. Matahari kembali meutupi wajahnya yang selalu menyinari setiap insan di bumi. Hari semakin sore. Para petani lainnya mulai bersiap – siap untuk pulang. Gairah yang mereka miliki sudah habis. Jatuh bersamaan dengan keringat yang deras mengucur ke bumi pertiwi. Rina yang sembari diam seribu bahasa akhirnya bicara dengan nada kecewa. Kesal. “ Aku pulang dulu Din. Aku harap kamu bisa tenang dengan pilihanmu. Maafkan aku tadi marah sama kamu. Itu karena aku sangat sayang padamu Din. Kamu sudah aku anggap sebagai kakakku. Aku ingin yang terbaik bagi dirimu. Maaf. Aku gak bisa menemui mu lagi. Aku harus konsentrasi pada ujian. Setelah itu, mungkin aku akan langsung pergi ke Jakarta. Maaf”. Ucap Rina dengan sayu. “ Sama – sama Rin. aku juga mau minta maaf telah membuatmu kesal. Semoga kamu lulus dan bisa sukses di Jakarta.”jawab Dini. “Amiin..”sambung Rina. Rina langsung pulang karena hari sudah sore. Dini akan pulang sebentar lagi. Ia ingin membereskan alat – alat yang ia bawa.

Temaram sinar lampu rumahnya menerpa wajah ayu Dini yang segar. Ia ambil mukena dan memakainya. Sungguh cantik ia dalam balutan mukena miliknya. Ia sholat. Mengadu pada Sang Maha pemberi ketenangan jiwa. Allah swt. Ia menangis dalam do’anya. Menangis dengan hati yang semaikn pilu dan kacau. Usai sholat, ia makan bersama emak yang ia sayangi di atas dunia ini.” Udah sholat nduk?”.tanya emak. “Udah, Mak.” jawab Dini singkat. “ kamu napa toh nduk? Kamu menangis..?”tanya emak dengan penasaran. Ia tahu, anaknya punya masalah. “ Cerita lah nak. Mana tau Emak bisa bantu. Ayo cerita saja. Jujur saja pada Emakmu ini”. Dini semakin bingung. Ia harus menceritakan tawaran Rina untuk sekolah di Jakarta pada emaknya. “ Begini, Mak. Tadi sore Rina datang ke sawah. Ia mengajakku untuk sekolah di Jakarta. Semua biaya – biaya dibantu pamannya. Tapi aku menolaknya. Aku ingin bekerja. Toh habis sekolah, aku akan kembali ke sini dan kerja di sawah juga. Mendingan aku gak sekolah..” Ucap Dini. Emak terkejut dengan penuturan yang keluar dari mulut Dini.” Kamu kok berpikir seperti itu nduk? Kamu tuh musti ikut. Biar nasibmu bisa berubah. Ingat amanah bapakmu nduk..” ucap sang bunda dengan hati yang sedih. Bukan hal seperti ini yang ia harapkan dari anaknya. “ Tapi, Mak. Itu sudah keputusanku. Aku tingin kerja saja. Di sini. Di desa ini..” jawab Dini dengan menangis. “Terserah kamu toh nak. Itu keputusanmu. Emak cuma ingin kebahagiaan bagi dirimu.” suara sang bunda lirih menjawab perkataan anknya. “ Terima kasih, Mak. Aku ingin ke kamar dulu. Istirahat. Badanku masih capek.” ucap Dini sambil berlalu dari hadapan emaknya. Emaknya masih bingung dengan jalan pikiran anaknya ini. Dini membantingkan diri di atas kasur, tetapi matanya tidak bisa terpejam. Ia masih kacau. Ia menatap langit – langit rumanhya seraya ia ingin pergi ke dimensi lain. Tanpa ada satupun masalah hidup ini..

Hari demi hari terus berlalu. Bula demi bulan silih berganti. Tahun demi tahun datang dengan semangat hidup yang baru. Burung – burung terbang dengan semangat baru. Dedaunan tumbuh dengan indahnya. Tetapi, itu tak berarti bagi Dini. Semakin lama hasil yang ia pilih tidak menampakkan adanya perubahan bagi dirinya dan hidupnya. Sawah yang ia garap hasilnya tidak berubah. Ia semakin kecewa dengan pilihannya. Tetapi, itulah jalan hidupnya.
Suatu ketika, Rina pulang ke desa. Ia telah kembali dari Jakarta dan sukses. Ia kini punya usaha sendiri, meskipun kecil – kecilan. Ia bertemu dengan Dini, sahabat lamanya, di tepi sungai. “ Din, gimana kabarmu?” tanya Rina. “ Ya.. Seperti yang kamu lihat sekarang ini.” jawab Dini dengan agak malu – malu. “Kamu sukses ya Rin. Punya usaha sendiri. Gak sepertiku. Cuma sawah..he..”canda Dini. “ Ah. Biasa saja Din. Wong namanya juga usaha. ha..” jawab Rina dengan santai. Mereka akhirnya ngobrol dengan santai. Tetapi, Dini tidak. Ia merasa menyesal tidak ikut dengan Rina. Ia memandang langit biru, seraya berkata dalam hati” Ah.. seandainya waktu bisa berputar. Ingin rasanya nasib ini ku ubah. Aku cuma punya sedikit ilmu dan tahunya cuma tentang sawah. Tetapi, Rina telah berhasil dengan ilmu yang ia dapat dari dunia yang penuh dengan ilmu. Ah... betapa luasnya dunia ini. Tetapi, aku cuma berada dalam gundukan kecil....”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar